Jumat, 03 Januari 2014

Model Penelitian Organologi Gamelan Topik: Larasan Gamelan dan Permasalahannya




Ketidakmampuan larasan gamelan bukan merupakan fenomena baru dan telah menjadi polemik dalam percaturan dunia gamelan sejak lama. Mayarakat yang tidak atau belum mengetahui bahwa perubahan tersebut terjadi secara alamiah biasanya menduga telah terjadi kesalahan teknis menabuh yang dilakukan para pengrawit atau ketidak pedulian pemilik gamelan pada proses perawatan. Dugaan pada kealahan teknis misalnya: memukul terlalu keras, posisi dan cara memegang tabuh sehingga berpengaruh pada penempatan area pukul pada bilah atau pencon, ketidaktepatan dalam memilih kualitas tabuh. Dugaan pada kesalahan teknis tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, karena pada kenyataannya bila terjadi kesalahan teknis menabuh seperti yang diungkapkan di atas, maka efek yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu penurunan pada larasannya.
            Upaya yang sering ditempuh adalah dengan melakukan pelarasan sendiri (bagi pemilik yang mempunyai keahlian untuk melaras) atau menggunakan jasa penglaras gamelan. Prosen pelarasan dilakukan secara berkala atau pada saat yang diperlukan, yaitu bila terjadi perubahan pada beberapa instrumen gamelan. Namun dalam jangka yang tidak terlalu lama gamelan yang telah selesai dilaras mengalami perubahan, yaitu ditandai dengan proses meningginya nada pada masing-masing bilah atau pencon. Perbedaan nada sangat bervariasi dan kadang-kadang bisa mencapai lebih dari seperempat nada.
            Gamelan perunggu akan mencapai tahap stabil atau tidak mengalami penaikan nadanya pada rentang waktu yang tidak dapa ditentukan secara pasti. Beberapa gamelan memerlukan waktu hingga belasan tahun bahkan puluhan tahun. Kasus ini tidak memberikan pengertian bahwa larasan gamelan akan menjadi mapan secara alami pada nada yang diinginkan, tetapi berhenti berproses pada penaikan nadanya secara perlahan hingga mencapai titik terentu. Kepuasan bagi pengrawit dan penikmat gamelan akan terjaga dengan melakukan pelarasan secara berkala untuk menjaga agar nada pada masing-masing bilah dan pencon berada pada suatu titik frekuensi yang tepat.
            Soedarsono dalam sebuah program tehnical assistant yang dibiayai oleh Hibah Kompetisi A-1 Jurusan Karawitan ISI Yogyakarta tahun 2006 memberikan sebuah contoh kongkrit, bahwa gong ageng pada gamelan yang beradi di kediamannya di Jalan Suryodiningratan No. 41 Yogyakarta menjadi bagus setelah beberapa tahun. Pernyataan tersebut berdasarkan pengamatan pada kualitas bunya yang dihasilkan oleh gong, yaitu resonansinya yang berefek positif pada kualitas dan kuantitas ombak (gelombang bunyi) yang dihasilkan. Kasus ini tidak terkait dengan ketepatan atau kesesuaian larasan nada gong terhadap instrumen lain dalam satu perangkat gamelan. Kasus tersebut dapat menenunjukan bahwa gamelan yang dimaksud telah mengalami suatu perubahan dalam arti positif pada kualitas bunyi yang dihasilkan.
            Masyarakat karawitan, khususnya pengrawit, penikmat dan pengamat gamelan meyakini bahwa kondisi stabil pada larasan akan dicapai dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Keyakinan tersebut menimbulkan rasa enggan bagi pemilik gamelan untuk melaras gamelannya secara berkala. Berdasarkan pengamatan pula, bahwa gamelan produk baru yang dipaksa untuk dilaras pada setiap tahunnya berakibat buruk pada tingkat ketebalan meterial perunggu pada bilah atau pencon gamelan.
            Beberapa kerugian yang terjadi akibat perlakuan tersebut, antara lain: menipisnya permukaan bilah atau pencon yang beresiko pada tingkat ketebalan, kekerasanndan kekuatan kontruksinya, sehingga menjadi sangat mudah retak, patah atau berlubang saat ditabuh. Efek tersebut akan berlanjut pada beberapa kerugian secara fisik yang berkaitan erat dengan kualitas bunyi yang dihasilkan.

Gambar Gong yang berlubang akibat sering dilaras sehingga tingkat ketebalan semakin  berkurang akibatnya bahan baku menipis, mudah rapuh dan berlubang.


            Kasus yang lain terjadi pada bilah atau pencon yeng retak akan menimbulkan efek bunyi ‘ngether’ atau ‘nggeber’ akibat getaran dan pergesekan yang dihasilkan kedua sisi belahan, dan yang berlubang akan berkurang volume bunyinya serta menurun tingkat kenyaringannya (jw: budheg). Kasus tersebut terjadi karena terpisahnya masing-masing sisi pada lubang dan berkurangnya luasan permukaan sebagai wilayah yang memproduksi getaran, sehingga mengurangi jumlah dan intensitas getaran yang dihasilkan. Oleh sebab itu Soedarsono lebih lanjut menjelaskan, bahwa dengan beberapa pertimbangan untuk menghindari resiko akibat kesalahan dalam perawatan, maka gong pada gamelan yang berada di kediamannya hanya didiamkan saja untuk mencapai kualitas bunyi secara alami tanpa melalui sebuah treatment atau perlakuan khusus. Jangka waktu yang cukup lama pada proses pencapaian titik stabil tersebut membuahkan beberapa pertanyaan spekulatif yang menjadi hipotesis kerja penelitian ini.
            Kalangan masyarakat yang mempunyai perhatian pada larasan gamelan meyakini, bahwa gamelan yang telah berusia lebih dari 50 tahun, misalnya beberapa gamelan yang dimiliki keraton Yogyakarta, Surakarta,Pakualaman dan Mangkunegaran dikategorikan sebagai gamelan yang sudah ‘mapan’. Maksudnya, bahwa gamelan tersebut tidak lagi mengalami proses perubahan dengan indikasi bertambahnya frekuensi nada pada setiap bilah atau pencon. Kondisi tersebut jauh berbeda bila dibandingkan dengan gamelan berusia muda yang diproduksi oleh pengrajin gamelan pada saat ini. Peneliti memiliki hipotesis bahwa terjadinya perubahan segnifikan pada logam yang dipergunakan disebabkan oleh beberapa faktor. Berlandaskan pengamatan pada perspektif sejara, organologi dan mealurgi membuahkan beberapa hipotesis, antara lain:
1.      Perubahan yang terjadi pada rentangan waktu yang cukup lama untuk mencapai titik stabilitas larasan, baik pada gamelan yang sering ditabuh atau pun tidak pernah mendapat perlakuan apa pun menunjukan bahwa proses tersebut berlangsung secara alami. Kemungkinan besar bahwa fenomena perubahan larasan disebabkan oleh faktor internal, yaitu dari logam perunggu yang dipergunakan sebagai material. Lebih spesifik lagi mengarah pada sifat-sifat dasar yang dimiliki logam yang dipergunakan sebagai bahan baku. Logam perunggu merupakan perpaduan antara dua jenis logam nonferro (jenis logam yang tidak mempunyai kandungan besi), yaitu tembaga dan timah. Berdasarkan data penelitian mengenai logam perunggu menunjukan bahwa unsur yang dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan logam perunggu tidak dapat bersenyawa dengan baik, sehingga mempengaruhi kohesivitas, kekerasan, keuletan dan solidivitasnya.
Demikian juga dengan unsur ketiga, yaitu timbal yang secara sengaja dicampurkan sebagai solusi teknis untuk mempermudah proses peleburan dan meningkatkan kualitas beberapa aspek, misalnya: kohesivitas, solodivitas dan tingkat kekerasan. Ketidakmurnian bahan baku atau adanya unsus logam lain yang tidak sengaja terkandung di dalam bahan baku juga dimungkinkan ssebagai penyebab perubahan pada larasan gamelan. Perlu diketahui, bahwa faktor kesulitan untuk mendapatkan kualitas kemurnian logam masih menemui kendala pada proses pemisahannya, sehingga terjadi proses impurities. Logam yang diperoleh dengan cara tambang biasanya menyatu dengan jenis logam lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa faktor penyebab bersifat eksternal, misalnya: temperatur dan kandungan zat dalam udara.
2.       Faktor penyebab lainnya dimungkinkan dari penggunaan teknologi pembakaran dengan temperatir tinggi (pyrotechnology) yang diterapkan peda proses peleburan bahan baku dan proses penempaan untuk mendapatkan gadhangan. Penempaan secara manual dalam kondisi panas (annealing) untuk membentuk gadhangan menghasilkan perbedaan tingkat kerataan pada permukaan. Kondisi ini tampak pada sisi bagian bilah atau pencon yang biasanya tidak dikesik atau digerinda. Tonjolan dan cekungan pada permukaan sangat kelihatan pada gamelan perunggu ‘cemengan’ (hitam), yaitu gamelan perunggu yang sengaja tidak dikesik. Disamping itu, beban tempa yang diberikan oleh para panji menghasilkan perbedaan kepadatan pada setiap luasan area tempa, keragaman mikrostrukturnya pada bentuk dan ukuran sangat dimungkinkan menjadi faktor penyebab. Pergerakan atau perheseran molekul hasil empaan kemungkinan timbul dari proses tarik-menarik dan saling mendorong antara molekul lain di sekitarnya, sehingga menyebabkan ketegangan dan peregangan pada bilah atau pencon. Efek tersebut kenungkinan mengubah konstruksi bilah menjadi melengkung  atau pencon menjadi cembung dalam ukuran yang sangat kecil, tetapi memberikan pengaruh yang besar pada stabilitas larasannya.
3.       Pembuatan gadhangan diakhiri dengan proses pendinginan secara mendadak dengan mencelupkan maerial tersebut ke dalam air dingin. Proses ini disebut penyepuhan yang dimaksudkan untuk memperkeras material logam dalam bentuk gadhangan tersebut. Satu sisi proses tersebut dimaksudkan untuk memperkeras material, namun di sisi lain kemungkinan menjadi kelemahan. Alasannya, bahwa pendinginan secara mendadak memaksa molekul logam untuk berhenti bergerak. Padahal masing-masing molekul masih memerlukan waktu untuk mencari tempat dan posisinya, sehingga terjadi ketegangan dan peregangan pada bilah atau pencon.
4.       Proses peleburan bahan baku menggunakan teknologi pemanasan dengan temperatur tinggi memungkinkan terbentuknya gas yang diperoleh dari dalam material logam dan proses pada pembakaran. Lelehan metalik yang terdapat di dalam atmosfer dapur dengan mudah menyerap gas, misalnya: oksigen, nitrogen dan hidrogen. Mengingat bahwa proses tersebut juga dipengeruhi oleh preses pelepasan gas yang diperoleh pada saat pembakaran.
5.      Keempat hipotesis di atas memberikan suatu harapan bahwa perubahan larasan yang terjadi karena proses alamiah, baik dari aspek internal maupun eksternal, dapat ditanggulangi dengan penerapan metode dan teknologi yang tepat.
Berdasarkan kelima hipotesis di atas, maka perlu dilakukan pengujian dengan proses pengukuran, penghitungan, analisis metalurgi dan fisika bunyi secara cermatdan seksama untuk mendapat jawaban yang tepat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Analisis metalurgi dipergunakan sebagai landasan untuk membedah permasalahan yang berkaitan dengan pengujian pada kualitas bahan baku, proses pembuatan hingga finishing, dan perubahan signifikan secara fisik yang terjadi setelah proses tersebut. Fisika bunyi diterapkan pada penelitian untuk mengetahui secara pasti setiap fenomena perubahan yang terjadi pada larasan gamelan.
(Posting  by  Sugiarto)
Sumber:
1. Hendarto, Sri, Organologi, materi kuliah organologi untuk jurusan Karawitan dan Etnomusikologi Fakultas Seni Indonesia Yogyakarta.
2. Raharja, Organologi Gamelan, materi kuliah organologi gamelan untuk jurusan Karawitan Fakultas Seni Indonesia Yogyakarta.
3. Soedarsono, R.M., 2001, Metodologi Penrlitian Seni Pretunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar