Ketidakmampuan larasan gamelan bukan merupakan fenomena
baru dan telah menjadi polemik dalam percaturan dunia gamelan sejak lama.
Mayarakat yang tidak atau belum mengetahui bahwa perubahan tersebut terjadi
secara alamiah biasanya menduga telah terjadi kesalahan teknis menabuh yang
dilakukan para pengrawit atau ketidak
pedulian pemilik gamelan pada proses perawatan. Dugaan pada kealahan teknis
misalnya: memukul terlalu keras, posisi dan cara memegang tabuh sehingga
berpengaruh pada penempatan area pukul pada bilah atau pencon, ketidaktepatan
dalam memilih kualitas tabuh. Dugaan pada kesalahan teknis tersebut tidak
sepenuhnya dapat dibenarkan, karena pada kenyataannya bila terjadi kesalahan
teknis menabuh seperti yang diungkapkan di atas, maka efek yang terjadi adalah
kebalikannya, yaitu penurunan pada larasannya.
Upaya yang sering ditempuh adalah dengan melakukan pelarasan sendiri (bagi pemilik yang
mempunyai keahlian untuk melaras) atau menggunakan jasa penglaras gamelan. Prosen pelarasan
dilakukan secara berkala atau pada saat yang diperlukan, yaitu bila terjadi
perubahan pada beberapa instrumen gamelan. Namun dalam jangka yang tidak
terlalu lama gamelan yang telah selesai dilaras mengalami perubahan, yaitu
ditandai dengan proses meningginya nada pada masing-masing bilah atau pencon.
Perbedaan nada sangat bervariasi dan kadang-kadang bisa mencapai lebih dari
seperempat nada.
Gamelan perunggu akan mencapai tahap stabil atau tidak
mengalami penaikan nadanya pada rentang waktu yang tidak dapa ditentukan secara
pasti. Beberapa gamelan memerlukan waktu hingga belasan tahun bahkan puluhan
tahun. Kasus ini tidak memberikan pengertian bahwa larasan gamelan akan menjadi mapan secara alami pada nada yang
diinginkan, tetapi berhenti berproses pada penaikan nadanya secara perlahan
hingga mencapai titik terentu. Kepuasan bagi pengrawit dan penikmat gamelan
akan terjaga dengan melakukan pelarasan secara
berkala untuk menjaga agar nada pada masing-masing bilah dan pencon berada
pada suatu titik frekuensi yang tepat.
Soedarsono dalam sebuah program tehnical assistant yang dibiayai oleh Hibah Kompetisi A-1 Jurusan
Karawitan ISI Yogyakarta tahun 2006 memberikan sebuah contoh kongkrit, bahwa gong ageng pada gamelan yang beradi di
kediamannya di Jalan Suryodiningratan No. 41 Yogyakarta menjadi bagus setelah
beberapa tahun. Pernyataan tersebut berdasarkan pengamatan pada kualitas bunya
yang dihasilkan oleh gong, yaitu resonansinya yang berefek positif pada
kualitas dan kuantitas ombak
(gelombang bunyi) yang dihasilkan. Kasus ini tidak terkait dengan ketepatan
atau kesesuaian larasan nada gong
terhadap instrumen lain dalam satu perangkat gamelan. Kasus tersebut dapat
menenunjukan bahwa gamelan yang dimaksud telah mengalami suatu perubahan dalam
arti positif pada kualitas bunyi yang dihasilkan.
Masyarakat karawitan, khususnya pengrawit, penikmat dan
pengamat gamelan meyakini bahwa kondisi stabil pada larasan akan dicapai dalam
jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Keyakinan tersebut menimbulkan rasa
enggan bagi pemilik gamelan untuk melaras gamelannya secara berkala.
Berdasarkan pengamatan pula, bahwa gamelan produk baru yang dipaksa untuk
dilaras pada setiap tahunnya berakibat buruk pada tingkat ketebalan meterial
perunggu pada bilah atau pencon gamelan.
Beberapa kerugian yang terjadi akibat perlakuan tersebut,
antara lain: menipisnya permukaan bilah
atau pencon yang beresiko pada
tingkat ketebalan, kekerasanndan kekuatan kontruksinya, sehingga menjadi sangat
mudah retak, patah atau berlubang saat ditabuh. Efek tersebut akan berlanjut
pada beberapa kerugian secara fisik yang berkaitan erat dengan kualitas bunyi
yang dihasilkan.
![]() |
Gambar Gong yang berlubang akibat sering dilaras sehingga tingkat ketebalan semakin berkurang akibatnya bahan baku menipis, mudah rapuh dan berlubang. |
Kasus yang lain terjadi pada bilah atau pencon yeng
retak akan menimbulkan efek bunyi ‘ngether’
atau ‘nggeber’ akibat getaran dan
pergesekan yang dihasilkan kedua sisi belahan, dan yang berlubang akan
berkurang volume bunyinya serta menurun tingkat kenyaringannya (jw: budheg). Kasus tersebut terjadi karena
terpisahnya masing-masing sisi pada lubang dan berkurangnya luasan permukaan
sebagai wilayah yang memproduksi getaran, sehingga mengurangi jumlah dan
intensitas getaran yang dihasilkan. Oleh sebab itu Soedarsono lebih lanjut
menjelaskan, bahwa dengan beberapa pertimbangan untuk menghindari resiko akibat
kesalahan dalam perawatan, maka gong pada gamelan yang berada di kediamannya
hanya didiamkan saja untuk mencapai kualitas bunyi secara alami tanpa melalui
sebuah treatment atau perlakuan
khusus. Jangka waktu yang cukup lama pada proses pencapaian titik stabil
tersebut membuahkan beberapa pertanyaan spekulatif yang menjadi hipotesis kerja
penelitian ini.
Kalangan masyarakat yang mempunyai perhatian pada larasan
gamelan meyakini, bahwa gamelan yang telah berusia lebih dari 50 tahun,
misalnya beberapa gamelan yang dimiliki keraton Yogyakarta, Surakarta,Pakualaman
dan Mangkunegaran dikategorikan sebagai gamelan yang sudah ‘mapan’. Maksudnya,
bahwa gamelan tersebut tidak lagi mengalami proses perubahan dengan indikasi
bertambahnya frekuensi nada pada setiap bilah
atau pencon. Kondisi tersebut
jauh berbeda bila dibandingkan dengan gamelan berusia muda yang diproduksi oleh
pengrajin gamelan pada saat ini. Peneliti memiliki hipotesis bahwa terjadinya
perubahan segnifikan pada logam yang dipergunakan disebabkan oleh beberapa
faktor. Berlandaskan pengamatan pada perspektif sejara, organologi dan mealurgi
membuahkan beberapa hipotesis, antara lain:
1.
Perubahan
yang terjadi pada rentangan waktu yang cukup lama untuk mencapai titik
stabilitas larasan, baik pada gamelan yang sering ditabuh atau pun tidak pernah
mendapat perlakuan apa pun menunjukan bahwa proses tersebut berlangsung secara
alami. Kemungkinan besar bahwa fenomena perubahan larasan disebabkan oleh
faktor internal, yaitu dari logam perunggu yang dipergunakan sebagai material. Lebih
spesifik lagi mengarah pada sifat-sifat dasar yang dimiliki logam yang
dipergunakan sebagai bahan baku. Logam perunggu merupakan perpaduan antara dua
jenis logam nonferro (jenis logam yang tidak mempunyai kandungan besi), yaitu
tembaga dan timah. Berdasarkan data penelitian mengenai logam perunggu
menunjukan bahwa unsur yang dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan logam
perunggu tidak dapat bersenyawa dengan baik, sehingga mempengaruhi kohesivitas,
kekerasan, keuletan dan solidivitasnya.
Demikian
juga dengan unsur ketiga, yaitu timbal yang secara sengaja dicampurkan sebagai
solusi teknis untuk mempermudah proses peleburan dan meningkatkan kualitas
beberapa aspek, misalnya: kohesivitas, solodivitas dan tingkat kekerasan.
Ketidakmurnian bahan baku atau adanya unsus logam lain yang tidak sengaja
terkandung di dalam bahan baku juga dimungkinkan ssebagai penyebab perubahan
pada larasan gamelan. Perlu diketahui, bahwa faktor kesulitan untuk mendapatkan
kualitas kemurnian logam masih menemui kendala pada proses pemisahannya,
sehingga terjadi proses impurities.
Logam yang diperoleh dengan cara tambang biasanya menyatu dengan jenis logam
lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa faktor penyebab bersifat
eksternal, misalnya: temperatur dan kandungan zat dalam udara.
2.
Faktor
penyebab lainnya dimungkinkan dari penggunaan teknologi pembakaran dengan
temperatir tinggi (pyrotechnology)
yang diterapkan peda proses peleburan bahan baku dan proses penempaan untuk
mendapatkan gadhangan. Penempaan
secara manual dalam kondisi panas (annealing)
untuk membentuk gadhangan menghasilkan
perbedaan tingkat kerataan pada permukaan. Kondisi ini tampak pada sisi bagian bilah atau pencon yang biasanya tidak dikesik
atau digerinda. Tonjolan dan cekungan pada permukaan sangat kelihatan pada
gamelan perunggu ‘cemengan’ (hitam),
yaitu gamelan perunggu yang sengaja tidak dikesik.
Disamping itu, beban tempa yang diberikan oleh para panji menghasilkan
perbedaan kepadatan pada setiap luasan area tempa, keragaman mikrostrukturnya
pada bentuk dan ukuran sangat dimungkinkan menjadi faktor penyebab. Pergerakan
atau perheseran molekul hasil empaan kemungkinan timbul dari proses
tarik-menarik dan saling mendorong antara molekul lain di sekitarnya, sehingga
menyebabkan ketegangan dan peregangan pada bilah
atau pencon. Efek tersebut
kenungkinan mengubah konstruksi bilah menjadi melengkung atau pencon
menjadi cembung dalam ukuran yang sangat kecil, tetapi memberikan pengaruh yang
besar pada stabilitas larasannya.
3.
Pembuatan
gadhangan diakhiri dengan proses
pendinginan secara mendadak dengan mencelupkan maerial tersebut ke dalam air
dingin. Proses ini disebut penyepuhan yang dimaksudkan untuk memperkeras
material logam dalam bentuk gadhangan
tersebut. Satu sisi proses tersebut dimaksudkan untuk memperkeras material,
namun di sisi lain kemungkinan menjadi kelemahan. Alasannya, bahwa pendinginan
secara mendadak memaksa molekul logam untuk berhenti bergerak. Padahal
masing-masing molekul masih memerlukan waktu untuk mencari tempat dan
posisinya, sehingga terjadi ketegangan dan peregangan pada bilah atau pencon.
4.
Proses
peleburan bahan baku menggunakan teknologi pemanasan dengan temperatur tinggi
memungkinkan terbentuknya gas yang diperoleh dari dalam material logam dan
proses pada pembakaran. Lelehan metalik yang terdapat di dalam atmosfer dapur
dengan mudah menyerap gas, misalnya: oksigen, nitrogen dan hidrogen. Mengingat
bahwa proses tersebut juga dipengeruhi oleh preses pelepasan gas yang diperoleh
pada saat pembakaran.
5.
Keempat
hipotesis di atas memberikan suatu harapan bahwa perubahan larasan yang terjadi
karena proses alamiah, baik dari aspek internal maupun eksternal, dapat
ditanggulangi dengan penerapan metode dan teknologi yang tepat.
Berdasarkan
kelima hipotesis di atas, maka perlu dilakukan pengujian dengan proses
pengukuran, penghitungan, analisis metalurgi dan fisika bunyi secara cermatdan
seksama untuk mendapat jawaban yang tepat dan dapat dipertanggung-jawabkan
secara ilmiah. Analisis metalurgi dipergunakan sebagai landasan untuk membedah
permasalahan yang berkaitan dengan pengujian pada kualitas bahan baku, proses
pembuatan hingga finishing, dan
perubahan signifikan secara fisik yang terjadi setelah proses tersebut. Fisika
bunyi diterapkan pada penelitian untuk mengetahui secara pasti setiap fenomena
perubahan yang terjadi pada larasan gamelan.
(Posting by Sugiarto)
Sumber:
1. Hendarto, Sri, Organologi, materi kuliah organologi untuk jurusan Karawitan dan Etnomusikologi Fakultas Seni Indonesia Yogyakarta.
2. Raharja, Organologi Gamelan, materi kuliah organologi gamelan untuk jurusan Karawitan Fakultas Seni Indonesia Yogyakarta.
3. Soedarsono, R.M., 2001, Metodologi Penrlitian Seni Pretunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
Sumber:
1. Hendarto, Sri, Organologi, materi kuliah organologi untuk jurusan Karawitan dan Etnomusikologi Fakultas Seni Indonesia Yogyakarta.
2. Raharja, Organologi Gamelan, materi kuliah organologi gamelan untuk jurusan Karawitan Fakultas Seni Indonesia Yogyakarta.
3. Soedarsono, R.M., 2001, Metodologi Penrlitian Seni Pretunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia