Jumat, 03 Januari 2014

Model Penelitian Organologi Gamelan Topik: Larasan Gamelan dan Permasalahannya




Ketidakmampuan larasan gamelan bukan merupakan fenomena baru dan telah menjadi polemik dalam percaturan dunia gamelan sejak lama. Mayarakat yang tidak atau belum mengetahui bahwa perubahan tersebut terjadi secara alamiah biasanya menduga telah terjadi kesalahan teknis menabuh yang dilakukan para pengrawit atau ketidak pedulian pemilik gamelan pada proses perawatan. Dugaan pada kealahan teknis misalnya: memukul terlalu keras, posisi dan cara memegang tabuh sehingga berpengaruh pada penempatan area pukul pada bilah atau pencon, ketidaktepatan dalam memilih kualitas tabuh. Dugaan pada kesalahan teknis tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, karena pada kenyataannya bila terjadi kesalahan teknis menabuh seperti yang diungkapkan di atas, maka efek yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu penurunan pada larasannya.
            Upaya yang sering ditempuh adalah dengan melakukan pelarasan sendiri (bagi pemilik yang mempunyai keahlian untuk melaras) atau menggunakan jasa penglaras gamelan. Prosen pelarasan dilakukan secara berkala atau pada saat yang diperlukan, yaitu bila terjadi perubahan pada beberapa instrumen gamelan. Namun dalam jangka yang tidak terlalu lama gamelan yang telah selesai dilaras mengalami perubahan, yaitu ditandai dengan proses meningginya nada pada masing-masing bilah atau pencon. Perbedaan nada sangat bervariasi dan kadang-kadang bisa mencapai lebih dari seperempat nada.
            Gamelan perunggu akan mencapai tahap stabil atau tidak mengalami penaikan nadanya pada rentang waktu yang tidak dapa ditentukan secara pasti. Beberapa gamelan memerlukan waktu hingga belasan tahun bahkan puluhan tahun. Kasus ini tidak memberikan pengertian bahwa larasan gamelan akan menjadi mapan secara alami pada nada yang diinginkan, tetapi berhenti berproses pada penaikan nadanya secara perlahan hingga mencapai titik terentu. Kepuasan bagi pengrawit dan penikmat gamelan akan terjaga dengan melakukan pelarasan secara berkala untuk menjaga agar nada pada masing-masing bilah dan pencon berada pada suatu titik frekuensi yang tepat.
            Soedarsono dalam sebuah program tehnical assistant yang dibiayai oleh Hibah Kompetisi A-1 Jurusan Karawitan ISI Yogyakarta tahun 2006 memberikan sebuah contoh kongkrit, bahwa gong ageng pada gamelan yang beradi di kediamannya di Jalan Suryodiningratan No. 41 Yogyakarta menjadi bagus setelah beberapa tahun. Pernyataan tersebut berdasarkan pengamatan pada kualitas bunya yang dihasilkan oleh gong, yaitu resonansinya yang berefek positif pada kualitas dan kuantitas ombak (gelombang bunyi) yang dihasilkan. Kasus ini tidak terkait dengan ketepatan atau kesesuaian larasan nada gong terhadap instrumen lain dalam satu perangkat gamelan. Kasus tersebut dapat menenunjukan bahwa gamelan yang dimaksud telah mengalami suatu perubahan dalam arti positif pada kualitas bunyi yang dihasilkan.
            Masyarakat karawitan, khususnya pengrawit, penikmat dan pengamat gamelan meyakini bahwa kondisi stabil pada larasan akan dicapai dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Keyakinan tersebut menimbulkan rasa enggan bagi pemilik gamelan untuk melaras gamelannya secara berkala. Berdasarkan pengamatan pula, bahwa gamelan produk baru yang dipaksa untuk dilaras pada setiap tahunnya berakibat buruk pada tingkat ketebalan meterial perunggu pada bilah atau pencon gamelan.
            Beberapa kerugian yang terjadi akibat perlakuan tersebut, antara lain: menipisnya permukaan bilah atau pencon yang beresiko pada tingkat ketebalan, kekerasanndan kekuatan kontruksinya, sehingga menjadi sangat mudah retak, patah atau berlubang saat ditabuh. Efek tersebut akan berlanjut pada beberapa kerugian secara fisik yang berkaitan erat dengan kualitas bunyi yang dihasilkan.

Gambar Gong yang berlubang akibat sering dilaras sehingga tingkat ketebalan semakin  berkurang akibatnya bahan baku menipis, mudah rapuh dan berlubang.


            Kasus yang lain terjadi pada bilah atau pencon yeng retak akan menimbulkan efek bunyi ‘ngether’ atau ‘nggeber’ akibat getaran dan pergesekan yang dihasilkan kedua sisi belahan, dan yang berlubang akan berkurang volume bunyinya serta menurun tingkat kenyaringannya (jw: budheg). Kasus tersebut terjadi karena terpisahnya masing-masing sisi pada lubang dan berkurangnya luasan permukaan sebagai wilayah yang memproduksi getaran, sehingga mengurangi jumlah dan intensitas getaran yang dihasilkan. Oleh sebab itu Soedarsono lebih lanjut menjelaskan, bahwa dengan beberapa pertimbangan untuk menghindari resiko akibat kesalahan dalam perawatan, maka gong pada gamelan yang berada di kediamannya hanya didiamkan saja untuk mencapai kualitas bunyi secara alami tanpa melalui sebuah treatment atau perlakuan khusus. Jangka waktu yang cukup lama pada proses pencapaian titik stabil tersebut membuahkan beberapa pertanyaan spekulatif yang menjadi hipotesis kerja penelitian ini.
            Kalangan masyarakat yang mempunyai perhatian pada larasan gamelan meyakini, bahwa gamelan yang telah berusia lebih dari 50 tahun, misalnya beberapa gamelan yang dimiliki keraton Yogyakarta, Surakarta,Pakualaman dan Mangkunegaran dikategorikan sebagai gamelan yang sudah ‘mapan’. Maksudnya, bahwa gamelan tersebut tidak lagi mengalami proses perubahan dengan indikasi bertambahnya frekuensi nada pada setiap bilah atau pencon. Kondisi tersebut jauh berbeda bila dibandingkan dengan gamelan berusia muda yang diproduksi oleh pengrajin gamelan pada saat ini. Peneliti memiliki hipotesis bahwa terjadinya perubahan segnifikan pada logam yang dipergunakan disebabkan oleh beberapa faktor. Berlandaskan pengamatan pada perspektif sejara, organologi dan mealurgi membuahkan beberapa hipotesis, antara lain:
1.      Perubahan yang terjadi pada rentangan waktu yang cukup lama untuk mencapai titik stabilitas larasan, baik pada gamelan yang sering ditabuh atau pun tidak pernah mendapat perlakuan apa pun menunjukan bahwa proses tersebut berlangsung secara alami. Kemungkinan besar bahwa fenomena perubahan larasan disebabkan oleh faktor internal, yaitu dari logam perunggu yang dipergunakan sebagai material. Lebih spesifik lagi mengarah pada sifat-sifat dasar yang dimiliki logam yang dipergunakan sebagai bahan baku. Logam perunggu merupakan perpaduan antara dua jenis logam nonferro (jenis logam yang tidak mempunyai kandungan besi), yaitu tembaga dan timah. Berdasarkan data penelitian mengenai logam perunggu menunjukan bahwa unsur yang dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan logam perunggu tidak dapat bersenyawa dengan baik, sehingga mempengaruhi kohesivitas, kekerasan, keuletan dan solidivitasnya.
Demikian juga dengan unsur ketiga, yaitu timbal yang secara sengaja dicampurkan sebagai solusi teknis untuk mempermudah proses peleburan dan meningkatkan kualitas beberapa aspek, misalnya: kohesivitas, solodivitas dan tingkat kekerasan. Ketidakmurnian bahan baku atau adanya unsus logam lain yang tidak sengaja terkandung di dalam bahan baku juga dimungkinkan ssebagai penyebab perubahan pada larasan gamelan. Perlu diketahui, bahwa faktor kesulitan untuk mendapatkan kualitas kemurnian logam masih menemui kendala pada proses pemisahannya, sehingga terjadi proses impurities. Logam yang diperoleh dengan cara tambang biasanya menyatu dengan jenis logam lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa faktor penyebab bersifat eksternal, misalnya: temperatur dan kandungan zat dalam udara.
2.       Faktor penyebab lainnya dimungkinkan dari penggunaan teknologi pembakaran dengan temperatir tinggi (pyrotechnology) yang diterapkan peda proses peleburan bahan baku dan proses penempaan untuk mendapatkan gadhangan. Penempaan secara manual dalam kondisi panas (annealing) untuk membentuk gadhangan menghasilkan perbedaan tingkat kerataan pada permukaan. Kondisi ini tampak pada sisi bagian bilah atau pencon yang biasanya tidak dikesik atau digerinda. Tonjolan dan cekungan pada permukaan sangat kelihatan pada gamelan perunggu ‘cemengan’ (hitam), yaitu gamelan perunggu yang sengaja tidak dikesik. Disamping itu, beban tempa yang diberikan oleh para panji menghasilkan perbedaan kepadatan pada setiap luasan area tempa, keragaman mikrostrukturnya pada bentuk dan ukuran sangat dimungkinkan menjadi faktor penyebab. Pergerakan atau perheseran molekul hasil empaan kemungkinan timbul dari proses tarik-menarik dan saling mendorong antara molekul lain di sekitarnya, sehingga menyebabkan ketegangan dan peregangan pada bilah atau pencon. Efek tersebut kenungkinan mengubah konstruksi bilah menjadi melengkung  atau pencon menjadi cembung dalam ukuran yang sangat kecil, tetapi memberikan pengaruh yang besar pada stabilitas larasannya.
3.       Pembuatan gadhangan diakhiri dengan proses pendinginan secara mendadak dengan mencelupkan maerial tersebut ke dalam air dingin. Proses ini disebut penyepuhan yang dimaksudkan untuk memperkeras material logam dalam bentuk gadhangan tersebut. Satu sisi proses tersebut dimaksudkan untuk memperkeras material, namun di sisi lain kemungkinan menjadi kelemahan. Alasannya, bahwa pendinginan secara mendadak memaksa molekul logam untuk berhenti bergerak. Padahal masing-masing molekul masih memerlukan waktu untuk mencari tempat dan posisinya, sehingga terjadi ketegangan dan peregangan pada bilah atau pencon.
4.       Proses peleburan bahan baku menggunakan teknologi pemanasan dengan temperatur tinggi memungkinkan terbentuknya gas yang diperoleh dari dalam material logam dan proses pada pembakaran. Lelehan metalik yang terdapat di dalam atmosfer dapur dengan mudah menyerap gas, misalnya: oksigen, nitrogen dan hidrogen. Mengingat bahwa proses tersebut juga dipengeruhi oleh preses pelepasan gas yang diperoleh pada saat pembakaran.
5.      Keempat hipotesis di atas memberikan suatu harapan bahwa perubahan larasan yang terjadi karena proses alamiah, baik dari aspek internal maupun eksternal, dapat ditanggulangi dengan penerapan metode dan teknologi yang tepat.
Berdasarkan kelima hipotesis di atas, maka perlu dilakukan pengujian dengan proses pengukuran, penghitungan, analisis metalurgi dan fisika bunyi secara cermatdan seksama untuk mendapat jawaban yang tepat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Analisis metalurgi dipergunakan sebagai landasan untuk membedah permasalahan yang berkaitan dengan pengujian pada kualitas bahan baku, proses pembuatan hingga finishing, dan perubahan signifikan secara fisik yang terjadi setelah proses tersebut. Fisika bunyi diterapkan pada penelitian untuk mengetahui secara pasti setiap fenomena perubahan yang terjadi pada larasan gamelan.
(Posting  by  Sugiarto)
Sumber:
1. Hendarto, Sri, Organologi, materi kuliah organologi untuk jurusan Karawitan dan Etnomusikologi Fakultas Seni Indonesia Yogyakarta.
2. Raharja, Organologi Gamelan, materi kuliah organologi gamelan untuk jurusan Karawitan Fakultas Seni Indonesia Yogyakarta.
3. Soedarsono, R.M., 2001, Metodologi Penrlitian Seni Pretunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia 

Teknik dan Pembuatan Gamelan

Menurut pendapat Brandes, bahwa bangsa Indonesia telah menguasai telah menguasai metalourgi sebelum mendapat pengaruh dari kebudayaan India ( Haryono, 2006). Warisan tehnologi masa lampau untuk pembuatan benda-benda  dari bahan metal hingga saat ini masih dipergunakan, termasuk pembuatan gamelan yang masih dilakukan secara maual dengan menggunakan teknologi dan peralatan yang mayoritas masih sangat sederhana. 

  Secara tehnis pembuatan artefak logam dilakukan dengan dua metode yang berlainan, yaitu: tehnik tempa dan tehnik cetak (Haryono,2006). Demikian juga dengan proses pembuatan gamelan jawa. Penerapan tehnik sangat tergantung Pada karakteristik material yang dipergunakan sebagai bahan baku. Masing masing bahan mempunyai elemen kimia yang berbeda, sehingga mempengaruhi tingkat kekerasan, warna, dan sifat-sifat dasaryang terdapat pada masing-masing jinis logam.

  Secara teknis pula proses pembuatan gamelan masih memarisi tehnologi yang dipergunakan pada pembuatan artefak logam pada masa lampau,yaitu dengan cara di cetak atau di tempa. Proses inilah yang memberikan perbedaan siknifikan pada kualitas gamelan. Disamping itu, juga tergantung pada alternatif penggunaan bahan yang di aplikasikan pada gamelan. Secara sepintas hanya dengan memperhatikan aspek tekis dan bahannya dapat memberikan gambaran dan pemetaan yang dapat membedakan kualiatasnya.

  Perlu dicatat bahwa kedua proses, yaitu teknik cetak atau cor dan teknik tempa dapan dilakukan pada serangkaian proses pembuatan gamelan, yaitu pada material perunggu. Namun pada matrial singen hanya dilakukan dengan proses pencentakan tanpa penempaan. Pada matrial lainnya ( besi, kuningan, alumunium, pamor) hanya dilakukan dengan teknik tempa tnpa melalui proses pencetakan.

  Berikut ini adalah proses pembuatan gamelan dengan metode dan material yang berbeda.

1.Teknik Cetak / Cor

Gamelan perunggu dibuat dengan mencampurkan dua material (tembaga dan timah) atau tiga material (tembaga, timah dan timbal )peleburan dan selanjutnya dilakukan proses pencetakan untuk mendapatkan bentuk dasar / lakar. Selanjutnya dilakukan proses penempaan dalam keadaan panas untuk membentuk bahan menjadi bilah atau pencon dan penempaan pada proses nguni-uni tanpa dendan proses pemanasan terlebih dahulu.

  Secara teknis proses tersebut tidak sama dengan tahapan yang dilakukan pada pembuatan gamelan kuningan dan besi yang dibuat dengan metode dan proses yang jauh lebih sederhana, yaitu dengan teknik tempa tanpa pemenasan. Demikian juga dengan proses pembuatan gamelan krumpyung yang dilakukan dengan cara memotong dan membentuk material baku berupa buluh bambu denan menggunakan beberapa jenis pisau tajam. Kesederhanaan dalam proses pembuatan gamelan dengan ketiga material terakhir tidak  diartikan sebagai sebuah keterbatasan atau ketidakbisaan untuk membuat gamelan dengan bahan perunggu, tetapi lebih berdasarkan pada beberapa pertimbangan yang berpijak pada sifat yang dimiliki oleh beberapa material tersebut, penyerdehanaan proses dan ketergantungan pada ketersedian bahan. Bila tidak terdapat kendala seperti yang disebutkan di atas sangat dimungkinkan  dilakukan pembuatan gamelan dengan ketiga material dengan teknik yang lain,yaitu teknik peleburan dan pencetakan.

  Sejauhini teknik cetak tuang hanya dilakukan pada dua material gamelan, yaiu perunggu dan singen. Teknik cetak atau cor dalam disiplin ilmu metalurgi disebut dengan istilah cire perdue. Teknik tersebut diterapkan pada pembuatan gamelan untuk memproses bahan baku menjadi bahan setengah jadi.

  Tahap pertama pada proses pencetakan gamelan perunggu dan singen diawali dengan memasak beberapa bahan baku masing-masing hingga menjadi cairan yang homogen. Kemudian dilakukan pencetakan dengan menggunakan kowi, yaitu sebuah media yang terbuat dari tanah liat dengan bentuk dan ukuran yang beragam.

  Saroyo berpendapat, bahwa material gamelan dapat dibentuk dengan cara dicatak tidak memiliki tingkat kekerasan yang diperlukan untuk pembuatan gamelam. Sepintas , material yang telah dilebur menunjukan campuran yang homogen, namun pada kenyataannya tidak demikian. Sifat edhesif dan kohesitasnya tidak cukup sehingga mempengaruhi kepadatan dan kekerasannya yang berimbas pada kualitas bunyi yang dihasilkan dan kemampuan untuk menahan pukulan tabuh atau pemukul gamelan (mallet). Metode yang ditempuh pada pengerjaan bakalan perunggu (bentuk dasar setelah dicetak ) dilakukan dengan proses tempa dengan pemanasan dan tempa dingin pada proses nguni-uni (menciptankan bunyi),sedangkan untuk logam singen tidak dilakukan proses tersebut. Pencetakan maerial pada gamelan singen dilakukan dengan ketepatan pada bentuk, ukuran dan berat materialnya yang berpengaruh pada nada yang di inginkan , sehingga setiap bilah di cetak dengan satu kowi. Proses nguni-uni dan pelarasan dilakukan sekaligus dengan proses ngesik, yaitu dengan cara mengurangi bagian permukaan bilah untuk mendapatkan penampilan pada bentuk dan membersihkan warna hitam dari proses pembakaran untuk mendapatkan warna yang bersih dan mengkilat. (Wawancara dengan Saroyo).

2. Teknik Tempa

  Ilmu metalurgi membedakan teknik tempa menjadi dua, yaitu teknik tempa dingin (tanpa pemanasan) dan teknik tempa dengan pemanasan(Haryono,2004). Kedua teknik tempa pada proses pembuatan gamelan jawa pada dasarnya dilakukan untuk membentuk material, nguni-uni (menciptakan bunyi), dan melaras nada yang tepat, baik pada instrumen gamelan jawa yang berbentuk bilah atau pencon.

  Berdasarkan karakteristik pada masing-masing material, maka diperlukan metode dan rangkaian proses yang berbeda. Berikut ini adalah penjelasan mengenai penerapan kedua teknik tersebut pada pembuatan gamelan.

a . Teknik Tempa Tanpa Pemanasan

  Salah satu teknik yang diterapkan pada proses penempaan material gamelan adalah teknik penempaan tanpa  pemanasan yang juga dikenal dengan istilah cold hammering. Metode tersebut dilakukan hampir pada semua material yang sudah terbiasa dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan gamelan, misalnya: besi, kuningan, dan perunggu. Demikianjuga dengan beberapa material yang telah menjadi bahan alternatif pada saat ini, misalnya: aluminium dan pamor.

  Teknik tempa tidak dilakukan pada material lainnya seperti kaca dan singen, karena kedua material tersebut tidak memiliki tingkat kekerasan setara bila dibandingkan dengan beberapa material yang telah disebutkan di atas, sehingga tidak tahan untuk ditempa. Perlu dicatat bahwa cold hammering pada gamlan perunggu hanya dilakukan dalam proses nguni-uni atau menciptakan bunyi. Namun demikian dari sekian banyak bahan baku yang dipergunakan terdapat beberapa material yang tidak memerlukan proses pemanasan terlebih dahulu, terutama pada tahapan paling awal setelah bahab baku tersebut dibentuk menjadi bakalan, yaitu material yang sudah tersedia dalam bentuk bakal bilah atau potongan pelat untuk pencon. Secara spesifik dapat dibatasi bahwa material yang dimaksud adalah logam yang termasuk dalam kategori besi (bukan baja), kuningan dan aluminium.

  Material dari besi atau kuningan dengan ketebalan dan tingkat kekerasan yang diperhitungkan mampu menahan pukulan tabuh yang terbuat dari kayu dipergunakan untuk membuat bilah pada instrumen demung, saron ricik, dan peking, sedangkan yang agak tipis dipergunakan untuk membuat bilah pada instrumen slenthem, gender barung dan gender penerus. Besi atau kuningan dengan tingkat ketebalan yang lebih rendah daripada material yang dipergunakan pada ketiga instrumen terakhir (slemthem, gender barung dan gender penerus) dipergunakan pada pembuatan instrumen dalam kategori pencon, yaitu: bonang barung, bonang penerus, kethuk, kenong, kempyang, gong suwukan dan gong ageng. Biasanya menggunakan pelat besi yang bisa di dapatkan ditempat penjualan logam atau drum minyak atau pelat kuningan.

  Kedua jenis material yang telahdisebutkan diatas, kemudian dipotong dan dipersiapkan sebagai bahan setengah jadi. Ukuran panjang dan lebarnya disesuaikan dengan ketebalan material, bentuk dan nada yang di inginkan.

b . Teknik Tempa Dengan Pemanasan

  Proses penempaan dengan pemanasan pada objek berupa logam disebut dengan istilah anneling. Material seperti perunggu, baja dan pamor memerlukan teknologi pemanasan pada proses pengerjaan dengan tujuan untuk mendapatkan solusi teknis, yaitu agar tingkat kekerasannya menurun. Kondisi material yang lunak menjadi lebih mudah dibentuk atau dilaras.

       1 . Teknik Tempa Pada Gamelan Perunggu

  Teknik tempa dengan pemanasan pada material gamelan dari perunggu dilakukan untuk membentuk material berupa lakaran menjadi bilah atau pencon. Lakaran yang dihasilkan dari proses pencetakan terdiri dari dua bentuk, yaitu persegi panjang untuk diproses menjadi instrumen berbentuk bilah dan berbentuk bulat diproses menjadi instrumen berbentuk pencon.

  Penempaan pada kedua jenis lakaran dilakukan dengan batas temperatur tempa yang disebut egean mealt. Bila temperatur melebihi batas maka perunggumenjadi sangat lunak, sehingga tempaan yang dilakukan akan meninggalkan bekas berupa ceruk atau cekungan yang terlalu dalam. Resiko yang paling fatal dapat terjadi bila tempaan menghasilkan wadur (lubang), sehingga perlu proses tambahan untuk menutup lubang tersebut. Bila temperatur material tersebut dibawah batas temperatur tempa, maka akan beresiko lebih paah, yaitu retak atau pecah. Keretakan kecil masih dapat diselamatkan dengan cara menutup bagian tersebut menggunakan las, tetapi bila retakan terlalu panjang maka material tersebut harus diproses ulang dengan cara dilebur dan dicetak kembali menjadi lakar.

  Proses penempaan dilakukan oleh panji sepuh sebagai penanggung jawab dibantu minimal dua pembantu untuk pengerjaan material yang kecil (gender barung, gender penerus, demung, saron ricik, dan peking) dan maksimal sebelas orang untuk pengerjaan gong ageng. Proses tersebut dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk serta ukuran yang telah ditentukan.

  Hingga saat ini, pelaksana pada proses pembuatan gamelan yang terdiri dari seorang panji sepuh (pemimpin di dalam besalen) beserta para pekerja yang membantunya mengukur batas temperatur tempa hanya dengan pengamatan secara visual. Kemampuan ini diperoleh berdasarkan pengalaman selama bertahun-tahun.

  Mikrostruktur pada logam perunggu yang dibentuk dengan proses pemempaan menujukan bentuk yang berbeda bila di bandingkan dengsn perunggu cetak.

       2 . Teknik Tempa Pada Gamelan Pamor

  Gamelan pamor memerlukan teknologi pemanasan pada proses pembuatan bakalan dan pembentukan material. Pembuatan bakalan dilakukan dengan menyatukan material berupa besi, baja dan pamor. Penyatuan ketiga material ditempuh dengan 3 metode, yaitu memanaskan, menempa dab melipat-lipat ketiga elemen tersebut hingga mendapatkan tingkat kepadatan, kekerasan dan kohesitas yang ditentukan.

       3 .Teknik Tempa Pada Bilah Saron Dari Baja

  Besi baja menjadi bahan pilihan untuk pembuatan bilah pada instrumen demung, saron ricik dan peking. Menurut pendapat beberapa pengrajin gamelan barut, bahwa baja mempunyai beberapa keistimewaan dibandingkan dengan logam besi biasa. Pertama, baja mempunyai tingkat kekerasan dan kepadatan yang lebih tinggi, sehingga secara fisik tidak mudah rusak karena patah atau berubah bentuk yang di akibatkan dari efek pukulan dari tabuh (mallet) yang terbuat dari kayu. Kedua, ketahanan terhadap tempaan pada saat dimainkan dengan tabuh dari kayu yang keras dan bobot yang berat sekalipun menjadi jaminan pada larasannya untuk tidak mudah berubah. Ketiga, lebih tahan terhadap proses korosi, sehingga materialnya lebih awet dan perawatannya lebih mudah dari pada besi biasa.

  Material baja biasanya menggunakan pegas (spring) berbentuk pelat dari kendaraan seperti becak, andong, mobil, bus atau truk. Bahan baku untuk bilah demung biasanya menggunakan pegas dari mobil, bus, truk, sedangkan saron ricik dan peking menggunakan material yang lebih tipis, misalnya pegas mobil, andong atau becak. Material gamelan dari baja mempunyai tingkat kekerasan yang lebih tinggi daripada besi biasa. Pegas dari kendaraan mobil, bus atau truk diciptakan dengan peritungan mampu menahan beban hingga beberapa ton.

  Keistimewaan pada tingkat kekerasannya memerlukan proses dan perlakuan yang berbeda pula bila dibandingkan dengan besi biasa. Metode pemanasan pada pembuatan gamelan dari baja merupakan solusi untuk memperlunak material tersebut. Tanpa metode pemanasan maka sifat-sifat yang terdapat dalam pegas tersebut menjadi kendala yang sangat berat bagi pembuatnya. Sifatnya yang keras dan lentur mampu menahan beban yanng sangat berat, sedangkan kemampuan tempa para pekerja hanya sampai beberapa kilo saja.

  Tahapan yang diterapkan pada proses untuk membuat material berwujud bakalan bilah demung, saron ricik dan peking, mempunyai kesamaan pada tahapannya dengan proses pembentukan pada lakaran perunggu. Bakalan berupa potongan besi berbentuk persegi panjang kemudian di olah dengan metode pemanasan dan penempaan hingga medapatkan bentuk yang telah ditentukan. Sama halnya dengan pengerjaan pada material perunggu, baja juga mempunyai batas temperatur tempa, sehingga akan berakibat fatal bila melampaui batas egeant mealt. Kesalahan pada perhitungan batas temperatur tempa dapat menghasilkan bentuk tempaan yang tidak rata atau mengakibatkan bakalan bilah menjadi retak atau pecah. Material yang mengalami kegagalan pada proses pembentukannya tidak dilakukan pengerjaan lebih lanjut. Langkah yang biasa ditempuh pengrajin gamelan adalah dengan menggantikannya dengan bakalan yang lain dan memulai proses dari awal. (Posting by Mulyono)

 

Jumat, 27 Desember 2013

Sejarah Singkat Perkembangan Gamelan Jawa



Perkembangan instrument gamelan dan alat music lainnya di Jawa pada masa lampau dapat ditemukan pada relief candi, prasasti, dan beberapa piagam kuno lainnya (baca: Koenst, 1973). Masing-masing
instrumen diciptakan secara bertahap dan sangat dimungkinkan juga muncul secara terpisah dari sisi waktu, lokasi dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Jawa pada masa lampau. Beberapa peninggalan sejarah berbentuk relief pada candi batu, yaitu Candi Dieng dan Candi Sari yang berasal dari abad VIII, memberikan informasi mengenai beberapa alat musik yang diprediksi sebagai embrio dari beberapa instrument musik yang terdapat pada gamelan saat ini, misalnya: genta,siter dan kecer (Soetrisno,1981). Sejarah gamelan pada masa Hindu Jawa tersebut (abad VIII hingga abad XI) hanya memberikan sedikit keterangan secara visual dan tidak dapat memberikan keterangan yang akurat, demikian juga pada aktivitasnya (Sumarsam,1995). Sama halnya dengan relief yang terdapat pada candi Prambanan, candi Pawon, candi Mendut, dan candi Borobudur (Palgunadi,2002).
Kurun waktu berikutnya tercipta beberapa instrument music dengan bentuk dan namanya yang sangat beragam, sebagai salah satu contoh adalah instrument kendang. Beberapa nama yang didapatkan dari artefak sejarah yang diketemukan memberikan informasi bahwa instrumen kendang mempunyai beberapa istilah yang berbeda untuk menyebutkannya, yaitu: padahi, pataha, padaha, muraba, murawa, muraja, dan mredangga. Kreativitas masyarakat Jawa pada masa lampau berkembang seiring dengan perjalanan waktu hingga pada akhirnya terbentuklah seperangkat instrumen music Jawa secara lengkap yang disebut gamelan (keterangan lebih lanjut baca: Soetrisno,1981). Lebih spesifik disebut gamelan gedhe atau jangkep, yaitu seperangkat gamelan lengkap yang biasa dimiliki masyarakat secara umum (Palgunadi, 2002).
Mitos yang berkembang di Jawa pada masa lampau memberikan informasi bahwa gamelan merupakan hasil karya para dewa (baca: Prajapangrawit,1940 dan Lindsay,1979). Terkait dengan mitos tersebut, masyarakat Jawa (khususnya) pada saat ini mempunyai pendapat yang pada akhirnya menumbuhkan dua kemungkinan berbeda atas kemunculan cerita tersebut. Pertama, dimungkinkan bahwa sejarah perkembangan instrumen gamelan sangat jarang atau pada masa tersebut belum diketemukan bukti-bukti sejarah yang mampu memberikan informasi yang detail dan akurat mengenai perkembangan gamelan. Kedua, kemungkinan dimunculkan dalam kehidupan masyarakat untuk menumbuhkan rasa hormat dan penghargaan pada nilai-nilai yang terkandung pada gamelan.
Ada beberapa alasan yang cukup kuat terkait dengan tumbuhnya mitos tersebut. Pertama, bahwa gamelan merupakan bagian penting dalam kehidupan ritual/keagamaan, sehingga masyarakat sangat perlu untuk menghormati nilai kesakralannya, misalnya gamelan sekaten dan gamelan pakurmatan (monggang, kodhok ngorek dan carabalen). Kedua, proses pembuatannya yang sangat rumit dan memerlukan pengetahuan luas mengenai bahan dan teknologi yang dipergunakan, sehingga tidak setiap orang mampu melakukannya. Ketiga, mahalnya material yang dipergunakan pada gamelan diperoleh dengan proses panjang dengan pendekatan secara preskriptif, yaitu serangkaian proses kegiatan teknologi yang terdiri dari beberapa unit yang terpisah dan dilakukan oleh beberapa orang yang berbeda (Haryono, 2001).
Sejarah perkembangan alat music gamelan telah diteliti oleh Soetrisno, seorang arkeolog yang mempunyai perhatian besar pada sejarah perkembangan gamelan Jawa. Hasil penelitian berdasarkan peninggalan arkeologis kemudian disajikan secara terperinci dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Karawitan’ diterbitkan oleh Akademi Seni Tari Indonesia tahun 1981. Informasi mengenai perkembangan gamelan dimulai dari kemunculan alat music yang masih sangat sederhana, baik yang berdiri sendiri sebagai salah satu kelengkapan dalam upacara adat/ritual atau dalam sebuah kelompok dalam jumlah yang kecil. Proses perkembangan dalam rentang waktu hingga ratusan tahun membuahkan kreativitas untuk menggabungkan satu persatu dari alat music yang ada menjadi kelompok yang lebih besar. Tahapan tertentu pada perkembanganya menghasilkan seprangkat alat music dengan keragaman bentuk, ukuran, laras , teknik memainkan, dan estetika penyajianya yang semakin baik. Kemudian disebut dengan istilah yang sangat dikenal masyarakat dunia pada saat ini, yaitu ‘gamelan’.     (posting by Gillys F. Yohanawati Sutedja)